Selasa, 01 Maret 2011

SPM Palsu atau SPM Fiktif ???

Pelayanan di Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) Jakarta II hari ini terhambat. Dua kali datang ke KPPN II dan mendapati seluruh pegawainya, termasuk Front Office (FO) yang bertugas menerima Surat Perintah Membayar (SPM) tidak berada ditempat. Sedangkan Satuan Kerja (satker) yang berniat mengajukan SPM sudah nampak memenuhi ruang tunggu KPPN II. "Sedang Rapat" itulah lontaran yang muncul ketika satker saling bertanya kemana petugas FO nya, tidak ada kejelasan lain. Akhirnya sebuah link berita di detik.com cukup memberikan sebuah jawaban apa yang sebenarnya sedang terjadi.


Sebuah kasus sedang menimpa KPPN Jakarta II, seorang pegawai dan mantan pimpinan disana sedang terjerat kasus pidana, ES dan AIS. ES adalah mantan FO yang sampai sekarang masih bertugas di KPPN II dan AIS merupakan mantan Kepala Seksi yang kini menjadi kepala KPPN di daerah terluar Indonesia.

SPM Fiktif atau SPM Palsu demikian disebut atas kasus tersebut. Apa benar SPM itu fiktif atau palsu??

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, 'Fiktif' memiliki definisi bersifat fiksi. 'fiksi' mengandung arti rekaan; khayalan; tidak berdasarkan kenyataan. Sedangkan kata 'palsu' didefinisikan tidak tulen; tidak sah; lancung; tiruan; gadungan; curang; tidak jujur; sumbang. Sehingga, secara sederhana dapat disimpulkan bahwa SPM fiktif/palsu adalah SPM yang tiruan, gadungan, atau rekaan.

Pertama, SPM dibuat dengan sebuah aplikasi (Aplikasi SPM) yang dibagikan dan terdapat di masing-masing Satker. Saat instalasi aplikasi SPM, akan dimasukkan pula Pagu Anggaran Satker. Aplikasi SPM mengalami perubahan setiap tahun. Ketika perekaman, SPM yang berhasil terekam hanya yang Pagu kegiatannya tersedia.

Kedua, SPM dikirim dalam bentuk hardcopy (cetakan SPM dan kelengkapannya) dan softcopy (ADK). Petugas FO akan memeriksa kelengkapan dan keaslian cetakan SPM beserta kelengkapannya, sedangkan ADK akan memastikan bahwa pagu kegiatan memang benar tersedia dan SPM dibuat dengan Aplikasi SPM yang telah dibagikan. Sistem akan otomatis menolak SPM yang salah pembebanan Pagu, apalagi yang tidak tersedia Pagunya. Juga akan menolak SPM yang dibuat dengan aplikasi tahun lalu, apalagi jika dibuat tidak dengan aplikasi yang sesuai.

dari dua point tersebut dapat disimpulkan bahwa SPM yang masuk ke KPPN adalah SPM yang Pagu kegiatannya telah dianggarkan dan SPM yang dibuat dengan aplikasi yang benar.

Ketiga, SPM hanya bisa dikirim oleh Pegawai Satker yang memiliki KIPS (Kartu Identitas Petugas Satker). Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D) juga hanya bisa diambil oleh pegawai yang memiliki KIPS.

Keempat, setiap bulan akan dilakukan rekonsiliasi data antara catatan satker dengan catatan KPPN. Rekonsiliasi ini akan menunjukkan perbedaan antara pencatatan Satker dan KPPN. Jadi, jika ketika rekonsiliasi tidak ada perbedaan maka bisa dipastikan bahwa semua SP2D yang dikeluarkan oleh KPPN untuk satker telah masuk dalam catatan satker tersebut.

dari point tiga dan empat dapat disimpulkan bahwa setiap pengiriman SPM dan pencairan SP2D pasti diketahui oleh satker.

Dalam kasus yang menimpa dua rekan di KPPN II ini, disebutkan bahwa perusahaan fiktif (PT. Cipta Surya Cemerlang) membuat SPM Palsu yang SEOLAH-OLAH dikeluarkan oleh Kementrian Pekerjaan Umum (PU) agar KPPN membayar Rp 8,9 Miliar untuk proyek pengerjaan jembatan fiktif. Berdasarkan empat kondisi yang diuraikan diatas, dapat dikatakan bahwa SPM dalam kasus ini BUKANLAH SPM PALSU karena:
  • SPM dibuat dengan aplikasi SPM yang sesuai
  • SPM dibuat atas kegiatan yang telah dianggarkan (pagu tersedia)
  • dan dapat dipastikan bahwa satker mengetahui adanya penerbitan SPM tersebut dan telah menerima SP2D atas SPm dimaksud. Jika Satker tidak mengetahui adanya penerbitan SPM itu, maka akan terdeteksi saat rekonsiliasi bulan itu bukan setelah dua tahun lebih.

Jika bukan SPM palsu/ fiktif, lantas apakah itu???
"SPM dengan KEGIATAN FIKTIF"
Yang fiktif bukan SPM melainkan kegiatan yang hendak dibiayai dengan SPM tersebut.
Yang palsu bukan SPM melainkan bukti-bukti yang menjadi kelengkapan SPM tesebut.

Siapakah yang bertanggung jawab atas Kegiatan Fiktif dan Bukti Palsu??

Dalam UU No.1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan telah jelas disebutkan bahwa Pengguna Anggaran/ Kuasa Pengguna Anggaran berwenang menguji kebenaran material dan meneliti kebenaran dokumen. Disebutkan juga, Pejabat yang menandatangani dan/atau mengesahkan dokumen yang berkaitan dengan surat bukti yang menjadi dasar pengeluaran atas beban APBN/APBD bertanggung jawab atas kebenaran material dan akibat yang timbul dari penggunaan surat bukti dimaksud.

Dengan demikian, sesuaikah ketika yang ditahan adalah ES (saat itu bertugas sebagai FO yg memeriksa SPM tersebut) dan AIS (yang menandatangani SP2D atas SPm tersebut)????

demikian, semoga mencerahkan



*penulis hanyalah mitra KPPN Jakarta II, bukan pribadi yang tahu banyak tentang proses perbendaharaan, so CMIIW :)



7 komentar:

  1. siipz,kudu hati2..krna media kyaknya sng menyorot instansi2 kemenkeu..

    BalasHapus
  2. saya sudah membaca tulisan anda, walaupun mungkin ada beberapa yg terpotong pd sisi kanan, jd mungkin ada beberapa yg tdk terbaca. Menurut saya & berdasarkan berita di media, apa yg dilakukan oleh dua rekan di KPPN Jakarta II sudah sesuai prosedur, krn secara bukti formal material sudah memenuhi syarat dan tidak menyimpang dari SOP. Ada ketidakprofesionalan dari pihak kepolian dl kasus ini, dimana pihak satker yg seharusnya lebih bertanggung jawab malah tidak disentuh sama sekali. Mungkin tulisan anda bisa dikirimkan ke situs POLRI sebagai bahan masukan bagi mereka dan supaya mereka bisa bekerja dengan profesional. Ulasan anda saya rasa akan mencerahkan mereka, terima kasih.

    BalasHapus
  3. Ketiga, SPM hanya bisa dikirim oleh Pegawai Satker yang memiliki KIPS (Kartu Identitas Petugas Satker). Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D) juga hanya bisa diambil oleh pegawai yang memiliki KIPS.

    petanyaan : apakah pada saat kasus terjadi, sudah ada aturan tentang KIPS, setau saya KIPS baru diberlakukan mulai tahun 2010, dan menurut saya justru yang melatarbelakangi dibuatnya aturan KIPS adalah kejadian kasus ini

    BalasHapus
  4. setahu sy sudah ada Kartu Pengenal untuk pengantaran SPM dan pengambilan SP2D, namun belum menggunakan sistem barcode yg baru dimulai tahun 2010.

    BalasHapus
  5. Pencerahan yang anda berikan sangatlah jelas,, bahkan saya jamin pegawai kanpus yang saat ini belum pernah ditugaskan di KPPN pun tidak mengetahui alur seperti yg anda ulaskan.

    Saya sudah pernah menjadi pegawai KPPN di seksi Perbendaharaan (yang sekarang dikenal dengan Pencairan Dana) selama 4 tahun, 2 tahun sebelum fungsi ordonansering dikembalikan ke satker, dan 2 tahun sesudahnya (pada KPPN Percontohan).

    Pada era DJPB masih belum dipisahkan dengan DJA dan bernama DJA, fungsi Ordonansering ada di KPKN (sekarang KPPN, krena fungsi Kas nya sudah hilang, tinggal fungsi Perbendaharaan). Pada saat itu memang benar, KPKN bertanggungjawab sepenuhnya, namun hal itu sesuai dengan SOP dan dasar hukum yg menyatakan bahwa satker mengajukan SPP (Surat Perintah Pembayaran) ke KPKN dilampiri dengan bukti2 ASLI dan rinci (bukan sesederhana ringkasan kontrak).

    Tapi sekarang zaman sudah berubah, KPA sudah saatnya bertanggungjawab atas dirinya sendiri, karena itulah fungsi ordonansering beserta tanggung jawabnya dikembalikan ke Satker, dan KPPN saat ini hanya sebagai pengklarifikasi tagihan terkait aturan pembayaran, ketersediaan dana, dan keabsahan dokumen SPM (Surat Perintah Membayar).

    Jadi buat teman2 yg tidak tahu, SPM diterbitkan setelah proses validasi SPP (Surat Permintaan Pembayaran) di satker lolos. sehingga Satker hanya memerintahkan KPPN membayar.

    sebagai klarifikasi lagi, saya sampaikan info bahwa teman2 di Setditjen dan Setjen Kemenkeu khususnya solidaritas Prodip aktif tengah mengupayakan sekuat tenaga kami agar hukum ditegakkan, jd buat temen2 di daerah jngan su'udzon dulu :) lebih baik kita berdoa bersama semoga usaha teman2 dapat menjadi jalan keluar sdr ES dan AIS. Amin YRA.

    Salam

    BalasHapus
  6. Satu lagi, setahu saya untuk KIPS tidak bisa dilaksanakan sepenuhnya dengan menggunakan system yang lebih mumpuni karena anggaran pada tahun 2010 di prioritaskan untuk mendukung beroperasinya Kanwil Unggulan dan pembaharuan peralatan pendukung Tupoksi, mengingat alokasi dana yg diperlukan utk pengadaan mesin verifikasi itu sendiri tidaklah sedikit (saya lupa pastinya berapa, yg jelas >7M)

    Nantinya mesin ini akan mendukung kemampuan salah satunya untuk mengcapture foto petugas pengantar SPM pada saat mengambil nomor antrian, itu sedikit bocoran yang saya dengar...

    BalasHapus
  7. kata dosen saya itu kelalaian petugas, karena DIPA nya memang benar2 mirip. Dan petugas dianggap lalai dalam memeriksanya..(cap dan tandatangan?

    BalasHapus